Sekitar umur 5,5 tahun, gw sekeluarga pindah ke Sumatra tepatnya di Bandar Lampung. Sebelumnya gw tinggal di Madiun, Jawa Timur. Gw masih kelas TK nol kecil (istilah jaman dulu) waktu papa ngumumin dia dipindahtugas ke Sumatra. Sebagai anak kecil yang masih polos dan lugu, yang membaca masih terbatas sampai ejaan kata "Ibu" dan berhitung baru sampai angka 10, gw cuma bisa ngikut doang dengan keputusan orangtua. Tanpa ada salam perpisahan dengan teman-teman maupun gebetan (walau masih TK gw udah punya gebetan, namanya Ari), gw sekeluarga terbang ke Lampung.
Masalah muncul ketika mama-papa gw bingung memutuskan sekolah gw. Karena TK gw belum lulus sedangkan uang masuk sekolah dari perusahaan cuma dikasih satu kali. Umur gw belum cukup buat masuk kelas 1, sedangkan kalau gw ngulang TK lagi berarti gw bakal lebih telat 1 tahun daripada teman-teman yang seangkatan sama gw. Entah gimana cerita dan prosesnya, akhirnya gw dimasukkan ke kelas 1 SD sama papa dalam usia 5,5 tahun dan dalam keadaan belum bisa baca tulis dengan lancar. Gw masih inget waktu pertama kali masuk SD, gw duduk paling depan, gw lihat papan dan gw nggak ngerti apa yang tertulis di papan itu. Gw juga pernah bosen di kelas karena pelajarannya tulis menulis, gw bikin kegaduhan, nangis jejeritan, minta supaya pelajarannya diganti menyanyi aja.
Awal masuk SD, papa pernah bilang gini," Nanti santai aja, nggak usah dibuat beban. Kalau nggak naik kelas juga nggak apa-apa, soalnya umurmu belum cukup". Kata-kata penghiburan banget. Tapi kenyataannya tiap kali nilai gw jelek, gw disuruh ngepel 100 kali di lantai satu rumah gw yang gedenya nggak kira-kira buat ukuran anak SD. Untungnya, papa gw nggak tegaan, jadi baru tiga puteran gw ngepel udah disuruh berhenti. Nah, yang paling gw inget adalah perjuangan mama gw. Sebulan pertama, mama gw dengan gigih selalu menemani di luar kelas, mama dengan rajinnya mencatat setiap pelajaran dengan mengintip melalui jendela kelas begitu juga dengan mama-mama yang lain. padahal seringkali guru di dalam kelas ngusir-ngusir mereka kayak satpol PP ngusir pedagang kaki lima di pinggir jalan. Akhirnya dengan perjuangan mama gw dan tekanan ngepel dari papa gw, dengan bangga gw sukses meraih juara 1 waktu kelas 1. Gw waktu itu seneng banget, walaupun gw orang ke 7 yang dapet juara 1 di kelas. Jadi kalau di Lampung tuh sistemnya rangking ditulis : 1.1, 1.2, dst, tergantung jumlah berapa orang yang rangking 1 dalam 1 kelas. Gw nggak tahu apa sistem ini hanya ada di luar pulau, karena waktu gw sekolah di Jawa tuh sistemnya ya rangking 1 cuma 1 orang, rangking 2 juga cuma 1 orang, nggak ada yang double-double.
Terlepas dari masa-masa sulit sebagai anak SD yang umurnya lebih cocok masuk TK, gw juga mengalami yang namanya masa jatuh cinta. Tepatnya waktu gw udah kelas 4 SD, kebetulan gw selalu jadi ketua kelas dan setiap ketua kelas selalu ada wakilnya. Wakil gw waktu kelas 4 SD namanya David. Gw lupa nama panjangnya, tapi gw masih ingat dengan jelas wajahnya. David ini tipe-tipe anak kecil yang kepengen cepet-cepet pacaran. Setau gw dia suka nembak sana-sini sebelum sekelas sama gw. Entah dia ini korban sinetron atau korban didikan kakak-kakanya yang udah gede. Sebagai pasangan ketua kelas dan wakil ketua kelas, gw sama David sering jalan bareng. Di kelas, di kantin, di area bermain, di lapangan basket, di perpustakaan, kecuali di toilet. Tiada hari tanpa bertemu David kecuali salah satu dari kita nggak masuk sekolah. Seperti artis-artis pada umumnya yang suka terlibat cinlok di lokasi syuting, maka cinloklah kita di sekolah. Ada rasa kehilangan muncul jika kami tidak berjumpa (anak SD yang lagi kasmaran juga ngerasain), ada rasa khawatir ketika dia bermuka muram (mulai lebay), yah intinya seperti itu yang gw dan dia rasakan. Singkat cerita, David nembak gw. Kejadiannya sore hari waktu kita lagi duduk di jungkat-jungkit sekolah, sebagai anak SD yang polos, nembaknya pun simpel. "Mau nggak jadi pacarku?" tanya David malu-malu. Gw langsung bilang iya tanpa memahami apa arti dari pacaran. Yang penting gw suka, dia suka. Titik.
Semenjak pacaran, gw sama David makin akrab. Kita mendiskusikan banyak hal bersama. Karena masih SD, hal-hal yang dibicarakan pun hal-hal sederhana, kita nggak sampai membicarakan masalah kenapa terjadi krisis moneter di Indonesia dan hal-hal berat lainnya. Kita hampir tidak pernah bertengkar, mungkin sesekali kita marahan karena lupa buat nyisain permen atau kue yang kita bawa dari rumah. Tidak ada pembicaraan mengenai masa depan, ketemu orang tua, atau curiga bau-bau perselingkuhan. Semuanya mengalir indah, tanpa beban dan tekanan...
Suatu hari, papa kembali membawa kabar gembira versinya. Kami sekeluarga akan kembali lagi ke pulau Jawa. Gw nggak bisa menggambarkan perasaan gw waktu itu. Mungkin gw agak sedih karena harus berpisah dengan David dan temen-temen gw di sekolah, harus meninggalkan kota yang telah memberikan kenangan dalam hidup gw. Gw pergi tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan. Tiba-tiba pas nulis blog ini gw jadi kepikiran gimana ya perasaan David waktu gw udah nggak pernah muncul di sekolah lagi, atau waktu dia akhirnya tahu kalau gw pindah ke pulau Jawa tanpa kasih kabar ke dia. Dan akhirnya gw sadar, cinta gw waktu SD itu cinta yang kerdil. Kita sebenarnya cuma mau bahagiain diri kita sendiri, kita nggak peduli sama pasangan kita. Ketika ada masalah kita cuma mau menang sendiri, kita bahkan males perjuangin apa yang disebut cinta. Mungkin banyak yang bilang inilah cinta monyet. Tapi kalau gw liat sih monyet cukup setia sama pasangannya mereka mau berkorban demi monyet yang mereka cintai. Jadi gw kasih nama cinta gue ini "Cinta Kerdil". Usia, kedewasaan mental, dan sudut pandang gw masih kerdil buat menjalin suatu hubungan yang disebut cinta.
Cinta bukan hanya rasa suka tetapi rasa bertanggung jawab untuk menjalaninya. Cinta yang baik akan membentuk kita menjadi karakter yang lebih baik. Dalam cinta kita saling belajar bagaimana kita menerima dan diterima, melengkapi dan bukan saling mengalahkan. Ada pertandingan dalam cinta. Pertandingan memperbaiki diri sehingga kita bisa saling melengkapi menjadi satu bagian yang utuh. Dan yang pasti cinta yang dewasa itu kita tahu mau dibawa kemana hubungan ini.
Salam Mbledoss!
Awal masuk SD, papa pernah bilang gini," Nanti santai aja, nggak usah dibuat beban. Kalau nggak naik kelas juga nggak apa-apa, soalnya umurmu belum cukup". Kata-kata penghiburan banget. Tapi kenyataannya tiap kali nilai gw jelek, gw disuruh ngepel 100 kali di lantai satu rumah gw yang gedenya nggak kira-kira buat ukuran anak SD. Untungnya, papa gw nggak tegaan, jadi baru tiga puteran gw ngepel udah disuruh berhenti. Nah, yang paling gw inget adalah perjuangan mama gw. Sebulan pertama, mama gw dengan gigih selalu menemani di luar kelas, mama dengan rajinnya mencatat setiap pelajaran dengan mengintip melalui jendela kelas begitu juga dengan mama-mama yang lain. padahal seringkali guru di dalam kelas ngusir-ngusir mereka kayak satpol PP ngusir pedagang kaki lima di pinggir jalan. Akhirnya dengan perjuangan mama gw dan tekanan ngepel dari papa gw, dengan bangga gw sukses meraih juara 1 waktu kelas 1. Gw waktu itu seneng banget, walaupun gw orang ke 7 yang dapet juara 1 di kelas. Jadi kalau di Lampung tuh sistemnya rangking ditulis : 1.1, 1.2, dst, tergantung jumlah berapa orang yang rangking 1 dalam 1 kelas. Gw nggak tahu apa sistem ini hanya ada di luar pulau, karena waktu gw sekolah di Jawa tuh sistemnya ya rangking 1 cuma 1 orang, rangking 2 juga cuma 1 orang, nggak ada yang double-double.
Terlepas dari masa-masa sulit sebagai anak SD yang umurnya lebih cocok masuk TK, gw juga mengalami yang namanya masa jatuh cinta. Tepatnya waktu gw udah kelas 4 SD, kebetulan gw selalu jadi ketua kelas dan setiap ketua kelas selalu ada wakilnya. Wakil gw waktu kelas 4 SD namanya David. Gw lupa nama panjangnya, tapi gw masih ingat dengan jelas wajahnya. David ini tipe-tipe anak kecil yang kepengen cepet-cepet pacaran. Setau gw dia suka nembak sana-sini sebelum sekelas sama gw. Entah dia ini korban sinetron atau korban didikan kakak-kakanya yang udah gede. Sebagai pasangan ketua kelas dan wakil ketua kelas, gw sama David sering jalan bareng. Di kelas, di kantin, di area bermain, di lapangan basket, di perpustakaan, kecuali di toilet. Tiada hari tanpa bertemu David kecuali salah satu dari kita nggak masuk sekolah. Seperti artis-artis pada umumnya yang suka terlibat cinlok di lokasi syuting, maka cinloklah kita di sekolah. Ada rasa kehilangan muncul jika kami tidak berjumpa (anak SD yang lagi kasmaran juga ngerasain), ada rasa khawatir ketika dia bermuka muram (mulai lebay), yah intinya seperti itu yang gw dan dia rasakan. Singkat cerita, David nembak gw. Kejadiannya sore hari waktu kita lagi duduk di jungkat-jungkit sekolah, sebagai anak SD yang polos, nembaknya pun simpel. "Mau nggak jadi pacarku?" tanya David malu-malu. Gw langsung bilang iya tanpa memahami apa arti dari pacaran. Yang penting gw suka, dia suka. Titik.
Semenjak pacaran, gw sama David makin akrab. Kita mendiskusikan banyak hal bersama. Karena masih SD, hal-hal yang dibicarakan pun hal-hal sederhana, kita nggak sampai membicarakan masalah kenapa terjadi krisis moneter di Indonesia dan hal-hal berat lainnya. Kita hampir tidak pernah bertengkar, mungkin sesekali kita marahan karena lupa buat nyisain permen atau kue yang kita bawa dari rumah. Tidak ada pembicaraan mengenai masa depan, ketemu orang tua, atau curiga bau-bau perselingkuhan. Semuanya mengalir indah, tanpa beban dan tekanan...
Suatu hari, papa kembali membawa kabar gembira versinya. Kami sekeluarga akan kembali lagi ke pulau Jawa. Gw nggak bisa menggambarkan perasaan gw waktu itu. Mungkin gw agak sedih karena harus berpisah dengan David dan temen-temen gw di sekolah, harus meninggalkan kota yang telah memberikan kenangan dalam hidup gw. Gw pergi tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan. Tiba-tiba pas nulis blog ini gw jadi kepikiran gimana ya perasaan David waktu gw udah nggak pernah muncul di sekolah lagi, atau waktu dia akhirnya tahu kalau gw pindah ke pulau Jawa tanpa kasih kabar ke dia. Dan akhirnya gw sadar, cinta gw waktu SD itu cinta yang kerdil. Kita sebenarnya cuma mau bahagiain diri kita sendiri, kita nggak peduli sama pasangan kita. Ketika ada masalah kita cuma mau menang sendiri, kita bahkan males perjuangin apa yang disebut cinta. Mungkin banyak yang bilang inilah cinta monyet. Tapi kalau gw liat sih monyet cukup setia sama pasangannya mereka mau berkorban demi monyet yang mereka cintai. Jadi gw kasih nama cinta gue ini "Cinta Kerdil". Usia, kedewasaan mental, dan sudut pandang gw masih kerdil buat menjalin suatu hubungan yang disebut cinta.
Cinta bukan hanya rasa suka tetapi rasa bertanggung jawab untuk menjalaninya. Cinta yang baik akan membentuk kita menjadi karakter yang lebih baik. Dalam cinta kita saling belajar bagaimana kita menerima dan diterima, melengkapi dan bukan saling mengalahkan. Ada pertandingan dalam cinta. Pertandingan memperbaiki diri sehingga kita bisa saling melengkapi menjadi satu bagian yang utuh. Dan yang pasti cinta yang dewasa itu kita tahu mau dibawa kemana hubungan ini.
Salam Mbledoss!
eciehhh moni...
BalasHapus